ETNOGRAFI SUKU BAJO
OLEH :
OLEH :
EVI MERIANI
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2013
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR................................................................................. i
DAFTAR
ISI............................................................................................... ii
BAB
I PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG MASALAH...................................................... 1
1.2 TUJUAN
PENULISAN ...................................................................... 2
1.3 RUMUSAN
MASALAH ..................................................................... 2
BAB
II ISI
2.1 NAMA DAN BAHASA ..................................................................... 3
2.2 LOKASI............................................................................................... 4
2.3 DEMOGRAFI..................................................................................... 5
2.4 MATA PENCAHARIAN ................................................................... 6
2.5 ORGANISASI SOSIAL..................................................................... 8
2.6 RELIGI.............................................................................................. 10
2.7 KESENIAN...................................................................................... 12
2.8 SISTEM PENGETAHUAN ........................................................... 14
2.9 PERALATAN HIDUP .................................................................... 16
2.10 PERUBAHAN ............................................................................... 18
2.2 LOKASI............................................................................................... 4
2.3 DEMOGRAFI..................................................................................... 5
2.4 MATA PENCAHARIAN ................................................................... 6
2.5 ORGANISASI SOSIAL..................................................................... 8
2.6 RELIGI.............................................................................................. 10
2.7 KESENIAN...................................................................................... 12
2.8 SISTEM PENGETAHUAN ........................................................... 14
2.9 PERALATAN HIDUP .................................................................... 16
2.10 PERUBAHAN ............................................................................... 18
BAB
III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN................................................................................. 20
3.2 SARAN ............................................................................................ 20
3.2 SARAN ............................................................................................ 20
DAFTAR
PUSTAKA
BAB I PENDAHULUAN
1.1 LATAR
BELAKANG MASALAH
Berdasarkan
sejarahnya, masyarakat suku bajo merupakan suatu komunitas yang hidup di atas
perahu, dan biasa disebut dengan “manusia perahu”. Masyarakat suku bajo selalu membudayakan hal
ini, sehingga kehidupan mereka selalu berpindah pindah. Setelah memanfaatkan
satu daerah maka mereka akan berpidah pada daerah yang lain, barulah kemudian
dimanfaatkan, dan begitu seterusnya. Hal ini sudah menjadi tradisi yang
diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Masyarakat
suku bajo percaya bahwa laut merupakan kehidupan mereka. laut adalah
ombok lao, atau raja laut. Sehingga filosofi tersebut berakibat pada
penggolongan manusia dalam suku Bajo.
Suku Bajo, dalam menempatkan orang membaginya ke dalam dua kelompok, yaitu Sama‘ dan Bagai. Sama‘
adalah sebutan bagi mereka yang masih termasuk ke dalam suku Bajo sementara Bagai adalah suku di luar Bajo.
Penggolongan tersebut telah memperlihatkan kehati-hatian dari suku Bajo untuk
menerima orang baru. Mereka tidak mudah percaya sama pendatang baru.
Masyarakat
suku bajo memiliki suatu filosofis ‘Papu Manak Ita
Lino Bake isi-isina, kitanaja manusia mamikira bhatingga kolekna mangelolana‘,
artinya Tuhan telah memberikan dunia ini dengan segala isinya, kita sebagai
manusia yang memikirkan bagaimana cara memperoleh dan mempergunakannya.
Sehingga laut dan hasilnya merupakan tempat meniti kehidupan dan mempertahankan
diri sambil terus mewariskan budaya leluhur suku Bajo. Dalam suku
Bajo, laki-laki atau pria biasa dipanggil dengan sebutan Lilla dan perempuan dengan sebutan Dinda.
1.2 TUJUAN
PENULISAN
Penulisan makalah ini selain
bertujuan untuk menyelesaikan tugas mata kulian Antropologi, juga sebagai bahan
atau referensi pembaca khususnya mahasiswa untuk belajar dan memperluas
pengetahuan tentang masyarakat suku bajo.
1.3 RUMUSAN MASALAH
§ Nama
dan Bahasa Masyarakat Suku Bajo
§ Lokasi
Masyarakat Suku Bajo
§ Demografi
Masyarakat Suku Bajo
§ Mata
Pencaharian Masyarakat Suku Bajo
§ Organisasi
Sosial Masyarakat Suku Bajo
§ Religi
Masyarakat Suku Bajo
§ Kesenian
Masyarakat Suku Bajo
§ Sistem
Pengetahuan Masyarakat Suku Bajo
§ Peralatan
Hidup Masyarakat Suku Bajo
§ Perubahan
Masyarakat Suku Bajo
BAB II PEMBAHASAN
2.1 NAMA DAN BAHASA
Bajo berasal dari nama seorang
leluhur mereka. Yang sangat hebat dalam melaut, dan hebat juga dalam bercocok
tanam. Kemudian kampung Karang Bajo adalah nama wilayah keturunan dari Bajo.
Konon Suku Bajo berasal dari Laut
Cina Selatan. Versi lain menyebutkan nenek moyang mereka berasal dari Johor,
Malaysia. Mereka keturunan orang-orang Johor atau keturunan Suku Sameng yang
ada di semananjung Malaka Malaysia yang diperintahkan raja untuk mencari
putrinya yang kabur dari istana. Orang-orang tersebut mengarungi lautan ke
sejumlah tempat sampai ke Pulau Sulawesi. Kabarnya sang puteri berada di
Sulawesi, menikah dengan pangeran Bugis kemudian menempatkan rakyatnya di
daerah yang sekarang bernama BajoE. Sedangkan orang-orang yang mencarinya juga
lambat laun memilih tinggal di Sulawesi, enggan kembali ke Johor. Keturunan
mereka lalu menyebar ke segala penjuru wilayah Indonesia semenjak abad ke-16
dengan perahu. Itulah sebabnya mereka digolongkan suku laut nomaden atau manusia perahu (seanomedic).
Asal-usul
suku Bajo sesungguhnya dari pulau Sulawesi. Selain menguasai bahasa daerah
setempat, mereka juga berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Bajo, serumpun
dengan bahasa Bugis – Sulawesi Selatan. Di mana dua atau tiga warga Bajo
berkumpul, mereka diwajibkan menggunakan bahasa Bajo. Kecuali kalau berada di
antara atau bersama warga penduduk setempat. Mereka adalah orang pelaut yang
tidak bisa hidup di gunung. Bajo, identik dengan air laut, perahu, dan
permukiman dia atas air laut. Bajo artinya mendayung perahu dengan alat yang
disebut bajo.
2.2 LOKASI MASYARAKAT SUKU BAJO
Dahulu
kala masyarakat Bajo kerap berpindah-pindah dari satu tempat ke temat lainnya
mencari sumber kehidupan seperti masyarakat gipsy atau nomaden. Namun saat ini
meskipun masih ada yang meneruskan tradisi berpindah tempat, sebagian lainnya
memilih menetap di lokasi tertentu dengan pola hidup yang sangat sederhana.
Salah satu lokasi menetap yang dipilih suku ini ada di Pulau Kaledupa,
Wakatobi. Suku Bajo yang terletak di kepulauan Wakatobi – Sulawesi Tenggara. Suku
Bajo yang mendiami kabupaten Wakatobi ini diduga hadir di wilayah ini sekitar
abad XVI. Dikatakan mereka berasal dari daerah China Selatan. Mereka termasuk
suku bangsa Proto Malayan yang datang ke wilayah Asia Tenggara ini sejak 2000
tahun Sebelum Masehi. Mereka sempat bermukim di daratan Indochina dan
bermigrasi ke daerah Semenanjung Malaysia dan akhirnya menyebar ke seluruh
wilayah Asia Tenggara, termasuk ke wilayah mereka sekarang ini di Sulawesi
Tenggara. Selain di Sulawesi Tenggara pemukiman orang Bajo juga banyak di
daerah-daerah lain di Sulawesi.
Perkampungan Suku Bajo juga ada di Desa Bajo Kabupaten Boalemo memiliki daya tarik untuk menjaring wisatawan. Tinggal di rumah Suku Bajo, ikut melaut lalu menjual ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Desa Taulo, Kecamatan Mananggu atau melihat bagaimana cara Suku Bajo membudidayakan lobster dan sejumlah ikan di tambak terapung, bisa menjadi kegiatan menarik buat wisatawan yang biasa hidup di perkotaan. Belum lagi budaya masyarakat Suku Bajo, seperti perkawinan dan acara selamatan. Adat Perkawinan masyarakat Suku Bajo, saat malam pertama, biasanya pasangan suami istri baru, di lepas ke laut dengan perahu. Mereka menghabiskan malam pertama di atas perahu. Ini merupakan tradisi yang sangat unik.
Perkampungan Suku Bajo juga ada di Desa Bajo Kabupaten Boalemo memiliki daya tarik untuk menjaring wisatawan. Tinggal di rumah Suku Bajo, ikut melaut lalu menjual ikan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) di Desa Taulo, Kecamatan Mananggu atau melihat bagaimana cara Suku Bajo membudidayakan lobster dan sejumlah ikan di tambak terapung, bisa menjadi kegiatan menarik buat wisatawan yang biasa hidup di perkotaan. Belum lagi budaya masyarakat Suku Bajo, seperti perkawinan dan acara selamatan. Adat Perkawinan masyarakat Suku Bajo, saat malam pertama, biasanya pasangan suami istri baru, di lepas ke laut dengan perahu. Mereka menghabiskan malam pertama di atas perahu. Ini merupakan tradisi yang sangat unik.
2.3
DEMOGRAFI
MASYARAKAT SUKU BAJO
Suku Bajo (Bajau) tersebar di
beberapa daerah di Sulawesi Tenggara, selain di pulau Kabaena populasi suku
Bajo terdapat juga di pulau Wakatobi. Persebaran Suku Bajo di pulau
Kabaena antara lain kecamatan Kabaena Barat (desa Baliara Laut yang terdiri
dari dusun Bambanipa Laut dan dusun Tanjung Malake, desa Baliara kepulauan dan
desa Sikele yang terdiri dari dusun Tanjung Perak, dusun pulau Sagori dan dusun
pulau Mataha). Sementara di kecamatan Kabaena Selatan tersebar di desa Batua
dan desa Pangkalero dan di kecamatan Kabaena Utara terdiri dari desa Mapila.
Sejak lama, masyarakat suku Bajo telah menempati wilayah pesisir pulau Kabaena ini, hidup dengan kearifan dan budaya mereka sendiri. Laut adalah tumpuan utama mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup ratusan orang anggota komunitas mereka dari tahun ke tahun.
Walaupun suku Bajo tersebar di beberapa pulau sekitarnya, tapi hampir tidak terdapat perbedaan dengan suku-suku bajo di daerah lain, masyarakat Bajo di wilayah ini hidup berdampingan dalam satu komunitas mereka dan menempati wilayah yang sedikit terpisah dengan komunitas lain, meskipun mereka secara administrasi pemerintahan dalam satu kesatuan dengan penduduk asli masyarakat Kabaena di desa ini. Rumah-rumah yang mereka huni secara keseluruhan berada di atas laut sehingga membuat komunitas suku lain agak sulit melakukan interaksi sengan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Belum bisa dipastikan apa yang menyebabkan mereka sedikit menutup diri dengan komunitas lain.
Sejak lama, masyarakat suku Bajo telah menempati wilayah pesisir pulau Kabaena ini, hidup dengan kearifan dan budaya mereka sendiri. Laut adalah tumpuan utama mereka dalam memenuhi kebutuhan hidup ratusan orang anggota komunitas mereka dari tahun ke tahun.
Walaupun suku Bajo tersebar di beberapa pulau sekitarnya, tapi hampir tidak terdapat perbedaan dengan suku-suku bajo di daerah lain, masyarakat Bajo di wilayah ini hidup berdampingan dalam satu komunitas mereka dan menempati wilayah yang sedikit terpisah dengan komunitas lain, meskipun mereka secara administrasi pemerintahan dalam satu kesatuan dengan penduduk asli masyarakat Kabaena di desa ini. Rumah-rumah yang mereka huni secara keseluruhan berada di atas laut sehingga membuat komunitas suku lain agak sulit melakukan interaksi sengan mereka dalam kehidupan sehari-hari. Belum bisa dipastikan apa yang menyebabkan mereka sedikit menutup diri dengan komunitas lain.
Jumlah penduduk suku Bajo di
Kepulauan Wakatobi kini 12 ribu orang, yang tersebar di beberapa kampung.
Selain Mola Selatan, ada Desa Mantigola dan Sampela di Pulau Kaledupa serta
Desa Lamanggau di Tomia. Mola terbanyak penduduknya, 7.000 orang. Kampung ini
juga paling “modern” dibanding kampung Bajo lain. Beberapa rumah terbuat dari
tembok, sebagian beratap seng, menunjukkan sisa-sisa “kejayaan” mereka.
Suku Bajo memang tak terpisahkan
dari laut. Sejak dulu, mereka dikenal sebagai pelaut ulung, gemar mengarungi
lautan Nusantara. Sejak puluhan tahun lalu, para orang tua mereka mendapat
berkah dari hasil laut perairan ini. Mereka bisa menangkap ikan dan penyu di
mana pun tanpa larangan.
Populasi masyarakat yang mendiami
wilayah pesisir kabupaten wakatobi Sulawesi Tenggara merupakan yang terbesar
diseluruh wilayah pesisir Indonesia. Khusus di Kota Wangiwangi, jumlah populasi
suku bajo mencapai sekitar 20.000 jiwa. Diderah lain, seperti Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tengah, Kalimantan, dalam satu komunitas suku bajo paling banyak
sekitar 3000 hingga sekitar 5000 jiwa.
2.4
MATA PENCAHARIAN
Mata pencaharian utama suku Bajoe
adalah mencari ikan dengan cara yang masih terbilang tradisional, seperti
memancing, memanah, dan menjaring ikan. Ikan-ikan tersebut nantinya dijual
kepada penduduk sekitar pesisir atau pulau terdekat. Kehidupan Suku Bajoe
memang masih terbilang sangat sederhana. Mendirikan pemukiman tetap pun mungkin
tak terpikir oleh mereka apabila tidak dihimbau oleh Pemerintah setempat.
Kegiatan melaut untuk mencari ikan
adalah rutinitas utama mereka seiap harinya. Dari subuh mereka telah berangkat
melaut untuk mencari ikan sampai pada siang hari, sehingga apabila pagi hari
pemukiman mereka terlihat sepi, hanya anak-anak yang berada di rumah. pemukiman
ini nanti
terlihat ramai ketika siang hari
sampai sore hari, kerana mereka telah kembali dari melaut.
Beberapa
suku Bajoe bahkan sudah mengenal teknik budidaya produk laut tertentu, misalnya
lobster, ikan kerapu, udang, dan lain sebagainya. Mereka menyebut tempat
budidaya sebagai tambak terapung yang biasanya terletak tak jauh dari
pemukiman. Sebagian kecil masyarakat suku Bajoe bahkan sudah membuat rumah
permanen dengan menggunakan semen dan berjendela kaca. Anak-anak Suku Bajoe
juga sudah banyak yang bersekolah, bahkan ada yang sampai perguruan tinggi. Hal
ini menunjukkan bahwa kesadaran mereka tentang pentingnya pendidikan sudah mulai
terbangun.
Suku
Bajoe yang mendapat sebutan sea nomads
atau manusia perahu karena sejak zaman dahulu mereka adalah petualang laut
sejati yang hidup sepenuhnya di atas perahu sederhana. Mereka berlayar
berpindah-pindah dari wilayah perairan yang satu dan lainnya. Perahu adalah
rumah sekaligus sarana mereka mencari ikan di luas lautan yang ibaratnya adalah
ladang bagi mereka. Ikan-ikan yang mereka tangkap akan dijual kepada penduduk
di sekitar pesisir pantai atau pulau. Inilah asal mula mereka disebut sebagai
manusia perahu atau sea nomads.
Kini mereka banyak bermukim di pulau-pulau sekitar Pulau Sulawesi, Kalimantan
Timur, Nusa Tenggara, Maluku, hingga Papua. Persebaran suku Bajoe di beberapa
daerah di Nusantara tentunya terjadi karena cara hidup mereka yang
berpindah-pindah dan berlayar dengan perahu.
2.5
ORGANISASI SOSIAL
Dalam
masyarakat suku bajo, terdapat beberapa jenis perkawinan, yakni :
- Perkawinan yang dilaksanakan berdasarkan peminangan (Massuro)
Perkawinan
jenis ini berlaku secara turun-temurun bagi masyarakat Suku Bajo yang bersifat
umum, baik dari golongan bangsawan maupun masyarakat biasa. Perbedaannya hanya
dari tata cara pelaksanaannya. Bagi golongan bangsawan melalui proses yang
panjang dengan upacara adat tertentu, sedangkan masyarakat awam berdasarkan
kemampuan yang dilaksanakan secara sederhana.
- Perkawinan Silaiyang ( Kawin Lari)
Perkawian
yang dilaksanakan tidak berdasarkan peminangan akan tetapi kedua belah pihak
melakukan mufakat untuk lari rumah penghulu atau kepala kampung untuk mendapat
perlindungan dan selanjutnya diurus untuk dinikahkan.
Dalam masyarakat Suku Bajo, peristiwa Silaiyang (melarikan diri untuk dinikahkan) adalah perbuatan yang mengakibatkan “pakayya” bagi keluarga perempuan. Dahulu peristiwa semacam ini bagi pihak perempuan yang disebut “nggai ia” selalu berusaha untuk menegakkan harga diri atau “pakayya” dengan cara membunuh lelaki yang melarikan anak gadisnya (anaknya). Namun, sekarang ini menurut ketentuan adat, apabila keduanya telah berada di rumah anggota adat atau penghulu (pemerintah) maka ia tidak bisa diganggu lagi. Penghulu atau anggota adat harus berusaha dan berkewajiban mengurus dan menikahkannya.
Untuk maksud tersebut di atas diadakanlah komunikasi kepada orang tua perempuan untuk dimintai persetujuannya. Tetapi sering juga terjadi orang tua dan keluarga pihak perempuan tidak mau memberi persetujuannya, karena merasa dipermalukan (adipakaiya). Bahkan orang tua yang dipermalukan (dipakaiya) itu menganggap anaknya yang dilarikan itu telah meninggal dunia dan tidak lagi diakui sebagai anaknya. Apa bila hal ini terjadi maka jalan lain yang ditempuh adalah pihak adat atau penghulu menikahkannya dengan istilah Wali- Hakim.
Akan tetapi walaupun keduanya telah dinikahkan, hubungan antara keluarga laki-laki dan perempuan tetap berbahaya. Oleh karena itu selama keduanya belum diterima kembali untuk rujuk yang disebut “sipamapporah) (meminta maaf), maka laki-laki yang membawa lari gadis tersebut harus tetap berhati-hati dan berupaya menghindar untuk bertemu orang tua dan keluarga dari pihak perempuan.
Dalam masyarakat Suku Bajo, peristiwa Silaiyang (melarikan diri untuk dinikahkan) adalah perbuatan yang mengakibatkan “pakayya” bagi keluarga perempuan. Dahulu peristiwa semacam ini bagi pihak perempuan yang disebut “nggai ia” selalu berusaha untuk menegakkan harga diri atau “pakayya” dengan cara membunuh lelaki yang melarikan anak gadisnya (anaknya). Namun, sekarang ini menurut ketentuan adat, apabila keduanya telah berada di rumah anggota adat atau penghulu (pemerintah) maka ia tidak bisa diganggu lagi. Penghulu atau anggota adat harus berusaha dan berkewajiban mengurus dan menikahkannya.
Untuk maksud tersebut di atas diadakanlah komunikasi kepada orang tua perempuan untuk dimintai persetujuannya. Tetapi sering juga terjadi orang tua dan keluarga pihak perempuan tidak mau memberi persetujuannya, karena merasa dipermalukan (adipakaiya). Bahkan orang tua yang dipermalukan (dipakaiya) itu menganggap anaknya yang dilarikan itu telah meninggal dunia dan tidak lagi diakui sebagai anaknya. Apa bila hal ini terjadi maka jalan lain yang ditempuh adalah pihak adat atau penghulu menikahkannya dengan istilah Wali- Hakim.
Akan tetapi walaupun keduanya telah dinikahkan, hubungan antara keluarga laki-laki dan perempuan tetap berbahaya. Oleh karena itu selama keduanya belum diterima kembali untuk rujuk yang disebut “sipamapporah) (meminta maaf), maka laki-laki yang membawa lari gadis tersebut harus tetap berhati-hati dan berupaya menghindar untuk bertemu orang tua dan keluarga dari pihak perempuan.
- Perkawinan Menurut Usia
Telah
diketahui, bahwa usia perkawinan diatur dalam undang-undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan, yaitu usia 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi
laki-laki. Hal ini dimaksudkan agar kedua calon mempelai tersebut memiliki
kematangan dalam berumahtangga, agar dapat memenuhi tujuan luhur dari suatu
perkawinan yaitu mendapat keturunan yang baik dan sehat.
Dahulu, usia perkawinan tidak ada pembatasan sehingga sering terjadi anak di bawah umur dinikahkan (nekke ana’-ana’). Tetapi mereka berdua masih tetap tinggal di rumah orang tua masing-masing. Dan nanti keduanya akil baliq (menanjak dewasa) barulah dipertemukan untuk hidup sebagai suami isteri. Hal seperti ini masih berlaku hingga akhir abad ke-19.
Dahulu, usia perkawinan tidak ada pembatasan sehingga sering terjadi anak di bawah umur dinikahkan (nekke ana’-ana’). Tetapi mereka berdua masih tetap tinggal di rumah orang tua masing-masing. Dan nanti keduanya akil baliq (menanjak dewasa) barulah dipertemukan untuk hidup sebagai suami isteri. Hal seperti ini masih berlaku hingga akhir abad ke-19.
- Perkawinan yang Dilarang
Sejak
dahulu adat yang berlaku dalam masyarakat Suku Bajo melarang perkawinan antara
dua orang (laki-laki dan perempuan) yang masih memiliki hubungan darah yang
dekat, seperti :
-
Seorang
pria dilarang kawin dengan wanita yang menurunkannya (ibu/nenek) baik melalui
ayah maupun ibu.
-
Seorang
pria dilarang kawin dengan wanita yang menurun dirinya (anak/cucu/cicit)
termasuk keturunan anak wanita
-
Seorang
pria dilarang kawin dengan wanita dari keturunan ayah atau ibu (saudara kandung
/ anak dari saudara kandung)
-
Seorang
pria dilarang kawin dengan wanita saudara dari yang menurunkan (saudara kandung
ayah/saudara kandung ibu/saudara kakek atau nenek baik dari ayah maupun dari
ibu).
- Perkawinan Duduk ( Sitingkoloang )
Perkawinan
ini terjadi apabila salah satu pihak, baik laki-laki atau pihak perempuan pergi
kerumah orangtua laki-laki atau perempuan guna menyerahkan dirinya kepada
keluarga laki-laki atau perempuan.Karena laki-laki atau perempuan sangat cinta
sehingga dia memberanikan diri untuk menyampaikan kedatanganya bahwa dia sangat
sayang.Untuk maksud ini dari pihak orangtua memberikan saran agar masing-masing
pihak dapat meluangkan waktunya untuk musyawarah (sitummu).Perkawinan ini masih
berlaku di Masyarakat Bajo.
2.6 RELIGI
Pada awalnya, Suku Bajo memeluk
kepercayaan animisme dan agama Hindu. Namun seiring ajaran agama Islam masuk
yang dibawa oleh Sunan Prapen (cucu Sunan Giri), banyak masyarakat Bajo
berpindah agama. Kerajaan Anak Agung Gedhe Agung yang menganut agama Hindu yang
ketika itu berkuasa di pulau Lombok merasa eksistensinya terganggu, takut
apabila banyak masyarakat Bajo memeluk Islam yang nantinya bisa dan mampu
menggulingkan kekuasaan kerajaan.
Filsafat kehidupan suku Bajo di
Bayan menilai antara kebudayaan dan Agama Islam mempunyai korelasi inklusif.
Tidak adanya perbedaan, antara kebudayaan dan Agama Islam, semua itu
disingkronisasi oleh peradaban.Kebudayaan merupakan keseluruhan dari hasil
budidaya manusia baik cipta, karsa dan rasa. Kebudayaan berwujud gagasan/ide,
perilaku/ aktivitas dan benda-benda. Sedangkan peradaban adalah bagian-bagian
dari kebudayaan yang tinggi, halus, indah dan maju
Masyarakat suku Bajo Bayan
memiliki filosofi yang sering disebut dengan Wetu Telu. Makna dari kata Wetu adalah Keluar, sedangkan Telu adalah Tiga. Jadi Wetu
Telu adalah Keluarnya tiga Filosofi kehidupan suku Bajo, yaitu Beranak
(diperuntukkan manusia, dan hewan mamalia), Bertelur (diperuntukkan unggas dan
ikan) dan Tumbuh (diperuntukkan tumbuh-tumbuhan).
Wetu Telu juga mempunyai tiga fase
dari kehidupan makhluk hidup, yaitu fase pertama kelahiran, fase kedua adalah
kehidupan, fase ketiga adalah kematian. Ketiga fase ini memiliki pola hubungan
yang sama, dan setiap individu manusia memiliki perbedaan dinamika kehidupan
yang berbeda. Khususnya manusia yang diberikan akal dan pikiran oleh Allah SWT
akan mempertanggung jawabkan apa yang telah dilakukannya selama hidup Dari
ketiga makna ini mempunyai arti bahwa manusia merupakan satu kesatuan dari
alam, yang tersirat dari filsafat kosmologi kehidupan dan budaya.
Seperti halnya masyarakat Jawa, suku
Bajo juga mengenal adanya dewi padi. Jika orang Jawa mengenal Dewi Sri sebagai dewi kesuburan (dewi
padi), maka orang Bajo mengenal dewi padi dengan sebutan Inak Sariti. Suku bajo hanya
menanam varietas padi lokal dari golongan padi bulu. Hal ini dikarenakan
varietas padi ini adalah varietas padi yang pertama kali ditanam di bangkat, sawah orang Bayan
pertama kali. Selain itu, masyarakat percaya bahwa jika tidak menaman padi
bulu, maka panen berikutnya akan gagal. Masyarakat setempat juga lebih menyukai
varietas ini dikarenakan varietas padi ini menghasilkan nasi yang lebih
pulen dan lebih enak
Tradisi bertani di desa ini
merupakan sebuah gambaran akan pentingnya menghargai makna dan nilai-nilai
positif yang terkandung, untuk selalu dijaga dan dihormati tanpa berlebihan.
Masyarakat desa hidup dan masih berpegang teguh pada aturan adat yang mengatur
segala bentuk hubungan antara manusia dengan Tuhan, sesama manusia maupun
dengan makhluk yang lain serta lingkungan sekitar. Dan disisi lainnya sangat
menghargai dan menjunjung tinggi atas nilai kehidupan. Demikianlah kearifan
lokal yang dimiliki kampung adat Sasak. Sebagian kecil kearifan ini dapat kita
refleksikan sebagai bentuk kekuatan bangsa kita
2.7
KESENIAN
A.
TARIAN
Umumnya
tarian tradisional masyarakat suku Bajo hampir sama dengan tarian suku
bugis,buton,mandar dan toraja.Ada dua tarian yang lumrah di kalangan Suku Bajo
yakni :
- Tarian
Manca
Tarian
Manca adalah salah satu tarian yang sangat populer dikalangan masyarakat
Bajo.Tarian ini dilakukan pada saat ada pesta pernikahan yang resmi (Massuro).
Biasanya tarian ini dibawakan oleh sepasang pamanca (tukang manca) terdiri dari
dua orang yang masing-masing saling membawa peddah (pedang). Tarian ini sudah
merupakan turun temurun dari nenek moyang mereka.Si pamanca sudah terlatih
sejak kecil,sehingga gerak badannya sangat lentur sesuai dengan irama
sarroni/sulleh(seruling) dan gandah (gendang). Manca bagi masyarakat suku bajo
melambangkan kesatriaan sejati karena tarian ini dianggap sebagai bekal untuk
menjaga diri. Para pamanca saling bergantian pabila salah satu dari sipamanca
lelah yang lain dapat (nyamboh) istilahnya menyambung tarian.Umumnya manca
dipentaskan saat pengantin laki-laki diantar kerumah wanita(lekka). Nah setelah
pengantin laki-laki tiba dirumah perempuan,di depan pintu sudah berdiri salah
satu anggota keluarga yang sudah dekat atau akrab dengan pengantin laki-laki
atau perempuan istilah ini disebut nyambo'. Kalau pengantin laki-laki disebut
nyambo' lille sedangkan pengantin perempuan disebut nyambo' dinde. Manca
diiringi dengan alat musik seruling(sarroni),goh(gong),dan gandah (gendang).
Lebih serunya lagi para pemanca dengan keterampilan seni beladirinya,tidak ada yang luka walaupun menggunakan pedang.Kita saja yang menonton sangat ketakutan tetapi hal ini sudah terbiasa bagi para pemanca.
Lebih serunya lagi para pemanca dengan keterampilan seni beladirinya,tidak ada yang luka walaupun menggunakan pedang.Kita saja yang menonton sangat ketakutan tetapi hal ini sudah terbiasa bagi para pemanca.
2. Sile' kampoh ( silat kampung )
Silat
kampung merupakan tradisi adat istiadat suku bajo.Ini bersinambungan dengan
manca artinya semua jurus-jurus yang didapat dari silat kampung diterapkan
dalam manca.Silat kampung ini tidak sembarangan orang untuk
mempelajarinya.Syaratnya harus sudah cukup umur.Untuk mempelajari silat ini
dibutuhkan empat minggu ini sudah sempurna.Prinsipnya silat adalah jalan hidup
yang meliputi berbagai aspek kehidupan seorang manusia.
Fungsi dari silat ini adalah untuk menjaga diri.Ada sebuah ungkapan yang menyatakan "Bukan orang Bajo yang meninggal dibunuh tanpa melawan".Makanya setiap pemuda yang berkeinginan untuk pergi meninggalkan kampung halamannya tidak diperkenankan oleh orangtuanya sebelum dia mempelajari silat.
Fungsi dari silat ini adalah untuk menjaga diri.Ada sebuah ungkapan yang menyatakan "Bukan orang Bajo yang meninggal dibunuh tanpa melawan".Makanya setiap pemuda yang berkeinginan untuk pergi meninggalkan kampung halamannya tidak diperkenankan oleh orangtuanya sebelum dia mempelajari silat.
B.
PANDUAN SILAT
Silat bagi Suku bajo berlandaskan pada akidah dan syariah.Maksudnya bagi siapa yang ingin mempelajari ilmu silat harus terlebih dahulu membetulkan tata cara sholat yang baik.Karena ilmu silat ini ada kaitannya dengan gerak-gerik sholat.
Ada beberapa syarat-syarat yang perlu diperhatikan yakni
1. Menyediakan pengeras seperti kain putih
2. Tidak boleh meninggalkan sembahyang.
3. Melakukan gerak silat membuka atau menutup gelanggang setiap kali memula atau menamatkan latihan silat.
4.Guru memainkan peranan penting di dalam menyampaikan sesuatu ilmu bagi menjamin kesahihan dan kesempurnaan ilmu tersebut. Di dalam ilmu persilatan, guru adalah lambang kesempurnaan.
5. Berikrar untuk tidak menggunakan silat dalam urusan yang tidak bermanfaat.
Silat bagi Suku bajo berlandaskan pada akidah dan syariah.Maksudnya bagi siapa yang ingin mempelajari ilmu silat harus terlebih dahulu membetulkan tata cara sholat yang baik.Karena ilmu silat ini ada kaitannya dengan gerak-gerik sholat.
Ada beberapa syarat-syarat yang perlu diperhatikan yakni
1. Menyediakan pengeras seperti kain putih
2. Tidak boleh meninggalkan sembahyang.
3. Melakukan gerak silat membuka atau menutup gelanggang setiap kali memula atau menamatkan latihan silat.
4.Guru memainkan peranan penting di dalam menyampaikan sesuatu ilmu bagi menjamin kesahihan dan kesempurnaan ilmu tersebut. Di dalam ilmu persilatan, guru adalah lambang kesempurnaan.
5. Berikrar untuk tidak menggunakan silat dalam urusan yang tidak bermanfaat.
2.8
SISTEM PENGETAHUAN
Masyarakat
Bajo memiliki pengetahuan alamiah-kontekstual yang dibangun dari dan atas dasar
pengalaman alamiah-kontekstual sehari-hari. Hal ini bermanfaat dalam menjalani
kehidupan mereka sehari-hari sebagai nelayan. Beberapa pengetahuan itu, seperti
peredaran bulan, musim dan peristiwa pasang surut air laut, termasuk ilmu
perbintangan secara tradisional dan sistem penanggalan qamariah (yang dihitung
berdasarkan peredaran bulan mengelilingi bumi) dan penanggalam syamsiah (yang
dihitung berdasarkan peredaran bumi mengelilingi matahari).
Pengetahuan
masyarakat Bajo dilihat dari perspektif sosial/budaya antara lain direfleksikan
dalam sebuah pandangan yang sejalan dengan teori dan fenomena sosial dalam
kehidupan sehari-hari, yaitu sama dan bagai. Selain itu, orang Bajo dapat
diidentifikasi dari bahasanya, yaitu baong sama (bahasa Bajo) yang dapat menyatukan
mereka dalam suatu komunitas besar masyarakat Bajo meskipun asal dan tempat
tinggalnya berbada-beda daerah.
Ada
tiga sumber utama nilai-nilai yang membentuk sistem kepercayaan dan nilai-nilai
transendental dalam masyarakat Bajo, yaitu ajaran-ajaran agama Islam, keyakinan
kepada keberadaan dan kekuatan leluhur atau makhluk gaib yang dapat
mendatangkan kebaikan/rezeki dan bencana/penyakit dan keyakinan kepada sanro
atau dukun yang dapat berdoa untuk kebaikan, menolong orang susah, menolak
bencana dan menyembuhkan penyakit.
Ada
dua analogi atau metafora sistem kehidupan masyarakat Bajo, khususnya
menyangkut hubungan antara sesama manusia serta hubungan antara manusia dengan
alam semesta dalam kerangka ruang dan waktu. Pertama, tubuh manusia sebagai
simbol masyarakat suku Bajo, dimana pimpinan mereka menempati posisi bagian
kepala. Kedua, masyarakat manusia sebagai suatu simbol dari “entire Badjao
moltitude”, termasuk realitas kehidupan dan kematian. Dalam perspektif analogi
yang kedua tersebut, Umboh merupakan pimpinan/kepala yang memiliki otoritas,
sebagai pusat koordinasi, dan kepala-leluhur. Dalam hubungan ini, tubuh manusia
menjadi cermin dari alam dan menjadi suatu medium dalam mana dan melaluinya
manusia mengorientasi dan mengorganisasikan kosmos. Rumah sebagai tempat
tinggal adalah sebuah kosmos kecil, menjadi meniatur kosmos yang lebih besar,
dan perbedaan rumah sebagai kosmos kecil mudah dikontrol dan diatur, sedangkan
alam semesta sebagai kosmos yang lebih besar tidak mudah dikontrol dan diatur
Orang Bajo memiliki bendera sendiri
yang disebut ula-ula yang dapat menjadi identitas komunitas dan diri mereka.
Pada ula-ula terdapat gambar manusia dengan kombinasi warna merah putih sebagai
simbol kehidupan masyarakat Bajo. Dalam masyarakat Bajo, tubuh manusia menjadi
wacana dari struktur suatu masyarakat dan merupakan suatu metafora untuk
memahami alam semesta dalam kerangka ruang dan waktu.
2.9 PERALATAN HIDUP
Alat-alat
tersebut selain untuk menangkap ikan juga digunakan untuk aktivitas
sehari-hari, misalnya sampan kaloko. Setelah datangnya era modernisasi alat
tangkap, alat-alat tersebut saat ini hanya tinggal cerita saja. Beberapa alat
tangkap yang terlacak adalah Timbalu, Sampan Kaloko, Bagu, dan Ngambai.
1. Timbalu
Ikan tuna atau yang dalam bahasa
Bajo disebut bangkunes, merupakan hasil laut yang sudah sejak lama menjadi
target nelayan Bajo. Dahulu, Suku Bajo menangkap ikan tuna menggunakan pancing
ulur. Bersama dengan pancing, digunakan alat bantu yang disebut dengan timbalu.
Timbalu adalah alat bantu nelayan dalam memancing ikan tuna. Konstruksi timbalu
berupa bambu yang dipasang melintang dan diikat kuat di atas sampan. Senar
dipasang pada bambu tersebut dengan jumlah antara 4-6 senar. Sedangkan pada
masing-masing senar dipasang mata kail dengan jumlah bervariasi, antara 2-4
buah mata kail. Saat menggunakan timbalu, sampan biasanya dalam posisi diam
atau dikayuh perlahan.
2. Sampan Kaloko
2. Sampan Kaloko
Sampan Kaloko merupakan alat utama
yang membantu dalam kehidupan sehari-hari Suku Bajo, mulai dari transportasi
hingga menangkap ikan. Sampan kecil tanpa layar dengan panjang tidak lebih dari
5 meter ini dahulu menjadi identitas Suku Bajo. Sampan ini lebih ramping dari
sampan yang banyak dijumpai pada masa kini. Sampan Kaloko digunakan Suku Bajo
untuk menangkap ikan cakalang dengan mengandalkan dayung dan kekuatan tangan
untuk mengejar kumpulan burung yang dipercaya sebagai tanda berkumpulnya ikan
cakalang. Konstruksi rumah Suku Bajo yang berada di “atas laut” dan tidak
adanya jembatan penghubung antar rumah pada masa itu membuat sampan ini
memiliki fungsi yang penting.
3. Bagu
3. Bagu
Bagu adalah tali pancing yang
terbuat dari serat pohon bagu. Berdasarkan informasi yang dihimpun, pohon bagu
banyak terdapat di daerah Buton. Pohon ini tinggi menjulang dan kaya manfaat.
Kayunya bisa digunakan untuk bahan baku pembuatan rumah, daunnya bisa digunakan
untuk sayur mayur, dan seratnya bisa digunakan untuk tali pancing. Saat ini,
pohon ini sudah sangat langka dan sulit ditemukan.
4. Ngambai
4. Ngambai
Ngambai adalah istilah bahasa Bajo
untuk menggambarkan proses penangkapan ikan dengan sistem kerjasama menggunakan
jaring. Target penangkapan adalah semua jenis ikan. Sekelompok nelayan harus
dipecah dalam sistem ini, ada kelompok yang memasang jaring dan ada kelompok
yang menggiring ikan. Modernisasi ternyata memiliki pengaruh pada suatu
komunitas masyarakat. Salah satunya perubahan alat tangkap ikan yang yang ada
di Suku Bajo. Alat-alat tangkap yang diuraikan di atas saat ini hanya menjadi
cerita saja. Masuknya mesin membuat daya jelajah nelayan semakin luas, alat
tangkap yang semakin maju membuat ikan lebih mudah tertangkap sehingga mereka
meninggalkan alat-alat tangkap yang dianggap konvensional dan ketinggalan
jaman.
2.10 PERUBAHAN
Di
Kabupaten Bone, permukiman komunitas suku Bajo mulai berubah. Awalnya, mereka
banyak bermukim di laut, dan saat ini ada kecendrungan bergeser ke darat.
Kajian ini dilakukan untuk meninjau apakah perubahan tersebut terkait interaksi
dengan suku Bugis serta kemungkinan adanya perubahan bentuk hunian suku Bajo di
Kelurahan BajoE Kabupaten Bone. Beberapa landasan teori yang digunakan dalam
penelitian ini antara lain teori Rapoport (2005), tentang culture, design and
architecture untuk mengkaji perubahan bentuk hunian suku Bajo ditinjau dari
sisi budaya. Teori transformasi kebudayaan oleh Kleden (1987), dapat
mempertegas adanya akulturasi kebudayaan dalam lingkungan permukiman suku Bajo.
Teori Turner (1972), tentang keberadaan rumah yang merupakan suatu proses, bisa
diterjemahkan pada permukiman suku Bajo terkait dengan adanya perubahan bentuk
hunian. Dan beberapa landasan teoritik lainnya. Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode kualitatif dan kuantitatif secara bersama-sama.
Metode ini dipakai karena kemungkinan ada data yang hanya didapat dari
sekelompok orang yakni tentang persepsi, nilai-nilai budaya dan adat istiadat.
Sementara data lainnya bisa melalui kuisioner pada sejumlah sampel yang
dipilih. Adapun analisis yang digunakan adalah deskripsi pada data-data
kualitatif dengan menyusun, mengelompokkan dan mengaitkannya menjadi sebuah
uraian. Hasil analisa ini kemudian dirangkai dan dievaluasi untuk menemukan
makna dan memberikan tanggapan atas temuan yang diperoleh yaitu perubahan
bentuk hunian suku Bajo akibat adanya interaksi dengan suku Bugis di Kabupaten
Bone. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini yakni ingin mengetahui
perubahan bentuk hunian suku Bajo akibat pengaruh interaksi dengan suku Bugis.
Selain itu, penelitian ini bertujuan ingin mengetahui wujud akulturasi budaya
yang terjadi di permukiman suku Bajo. Hasil yang telah dicapai dalam penelitian
ini adalah teridetifikasinya perubahan bentuk hunian suku Bajo akibat pengaruh
interaksi dengan suku Bugis di Kelurahan BajoE Kabupaten Bone.
BAB III PENUTUP
3.1 KESIMPULAN
Bajo berasal dari nama seorang
leluhur mereka. Yang sangat hebat dalam melaut, dan hebat juga dalam bercocok
tanam. Kemudian kampung Karang Bajo adalah nama wilayah keturunan dari Bajo.
Suku
Bajoe lahir dan hidup di laut. Mereka memiliki ketangguhan untuk mengarungi
lautan sebagai bagian dari sejarah dan jati dirinya.
Suku Bajo (Bajau) tersebar di
beberapa daerah di Sulawesi Tenggara, selain di pulau Kabaena populasi suku
Bajo terdapat juga di pulau Wakatobi.
Mata pencaharian utama suku Bajoe
adalah mencari ikan dengan cara yang masih terbilang tradisional, seperti
memancing, memanah, dan menjaring ikan
Pada awalnya, Suku Bajo memeluk
kepercayaan animisme dan agama Hindu. Namun seiring ajaran agama Islam masuk
yang dibawa oleh Sunan Prapen (cucu Sunan Giri), banyak masyarakat Bajo
berpindah agama.
Masyarakat Bajo memiliki pengetahuan
alamiah-kontekstual yang dibangun dari dan atas dasar pengalaman
alamiah-kontekstual sehari-hari.
3.2 SARAN
Makalah
ini dibuat sebagai bahan belajar pembaca khususnya mahasiswa dan memperluas
wawasan mengenai masyarakat suku bajo, oleh karena itu sebaiknya makalah ini
digunakan sebagaimana fungsi seharusnya.
DAFTAR PUSTAKA
http://protomalayans.blogspot.com/2012/11/suku-bajo-kabaena-sulawesi_15.html
http://ahmilanakwajo.blogspot.com/2010/03/jenis-perkawinan-suku-bajo.html
http://dimasadityo.wordpress.com/2008/08/20/suku-bajo-dan-%E2%80%9Cno-go-area%E2%80%9D/
Aslan, La Ode Muhamad dan Nadia, La Ode Abdul Rajak. 2009. Potret Masyarakat
Pesisir Sulawesi Tenggara. Kendari : Unhalu Press.
http://www.pewarta-kabarindonesia.blogspot.com