Rabu, 08 Januari 2014

Multikulturalisme Indonesia (Pendidikan Multikultur)

NAMA            : EVI MERIANI
NPM               : 1113032020
KELAS           : GENAP / B
PS                    : PPKn FKIP UNILA


DASAR EPISTEMOLOGI
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

Indonesia merupakan bangsa yang sangat kaya akan keragaman budaya, ras, dan bahasa. Negara ini memiliki segudang kekayaan alam maupun keindahan kehidupannya yang berbudaya dan multikultural. Untuk itulah pendidikannya harus disesuaikan dengan keadaan bangsa Indonesia yang sangat beragam ini. Kebijakan yang diambil mengenai pendikannya haruslah sesuai dengan tujuan pendidikan yang sebenarnya untuk menciptakan sumber daya manusia yang kompeten, berakhlak mulia, serta mampu bersosialisasi dalam kehidupan nyata, dan menciptakan kehidupan bermasyarakat yang rukun, toleransi, saling menghargai, dan saling menghormati satu sama lain.
Banyak faktor yang mempengaruhi Indonesia sebagai negara yang multikultur, diantaranya adalah faktor geografis. Apabila dilihat secara geografisnya Indonesia berada di jalur persilangan transportasi laut yang ramai dan strategis. Karenanya banyak bangsa-bangsa pedagang singgah ke Indonesia sekadar untuk berdagang. Bangsa-bangsa tersebut seperti Arab, India, Portugis, Spanyol, Inggris, Jepang, Korea, Cina, Belanda, Jerman, dan lain-lain. Kesemua bangsa tersebut mempunyai struktur budaya yang berbeda-beda. Persinggahan ini mengakibatkan masuknya unsur budaya tertentu ke negara Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari masuknya bahasa Inggris, bahasa Belanda, agama Islam, Nasrani, Hindu, dan Buddha. Kedua, faktor bentuk fisik Indonesia. Berdasarkan struktur geologisnya, Indonesia terletak pada bagian dimana terdapat pertemuan antara tiga lempeng benua. Hal ini menjadikan Indonesia sebagai negara yang terdiri dari ribuan pulau. Masing-masing pulau memiliki ciri fisik masing-masing yang tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Dengan begitu masing-masing daerah memiliki perkembangan yang berbeda-beda pula. Ketiga faktor Faktor Sejarah Indonesia. Di mata dunia, Indonesia adalah negeri yang kaya dan subur. Segala sesuatu yang diperlukan semua bangsa tumbuh di Indonesia. Misalnya, palawija dan rempahrempah. Oleh karena itu, Indonesia menjadi negeri incaran bagi bangsa lain. Sejak tahun 1605 bangsa Indonesia telah dikunjungi oleh bangsa-bangsa lain yaitu Portugis, Belanda, Inggris, Cina, India, dan Arab. Kesemua bangsa tersebut datang dengan maksud dan tujuan masing-masing. Oleh karena itu, mereka tinggal dan menetap dalam jangka waktu yang lama. Kondisi ini menjadikan Indonesia memiliki struktur ras dan budaya yang makin beragam.
Untuk itu, dalam dunia pendidikan pendidikan multikultural menjadi salah satu cara untuk meluruskan cara pandang bahwasanya kita sebagai individu merupakan milik suatu kelompok, nasional, agama, budaya dan etnik. Tetapi terlepas dari itu kita juga haruslah menyadari bahwasanya kita memiliki satu tujuan pokok, atau bisa dikatakan memiliki kesamaan tujuan yakni menciptakan kehidupan yang rukun, saling menghargai dan saling menghormati satu sama lain sebagai individu milik sebuah bangsa yaitu bangsa Indonesia. Dalam sebuah sekolah misalnya, pastilah terdapat berbagai macam suku bangsa, agama, budaya dan etnik serta ras yang berbeda-beda. Oleh karena itu, pertanyaannya adalah bagaimana menciptakan kehidupan yang selaras dan menjunjung persatuan dengan berbagai perbedaan yang ada ini?
Tentu salah satu jawabannya yang dapat dijadikan cara mewujudkan tujuan tersebut adalah dengan adanya pendidikan multikultural. Pada dasarnya, akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme, menurut Parsudi Suparlan (2002). Multikulturalisme adalah sebuah ideologi dan sebuah alat untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia.
Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan di antara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikulturalisme sehingga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini.  Multikulturalisme merupakan sebuah idiologi yang mengagungkan perbedaaan budaya atau sebuah keyakinan yang mengakui dan mendorong terwujudnya pluralisme budaya sebagai corak kehidupan masyarakat. Multikulturalisme akan menjadi pengikat dan jembatan yang mengakomodasi perbedaan-perbedaan termasuk perbedaan kesukubangsaan dan suku bangsa dalam masyarakat yang multikultural.
Andersen dan Custer (1994) mengatakan bahwa pendidikan multikultural adalah pedidikan mengenai keragaman budaya. Sedangkan Musa Asy’ari juga menyatakan bahwa  pendidikan multikultural adalah proses penanaman cara hidup menghormati, tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural.  Pendapat lain yang datangnya dari Prudence Crandall mengatakan bahwa pendidikan multikultural adalah pendidikan yang memperhatikan secara sungguh-sungguh terhadap latar belakang peserta didik baik dari aspek keragaman suku (etnis), ras, agama (aliran kepercayaam) dan budaya (kultur).
Pendidikan multikultur ini diharapkan dapat memberikan pemahaman mengenai multikulturalisme dan bagaimana sepatutnya seseorang atau individu sebagai pemilik suatu agama, budaya dan etnik tertentu bisa menempatkan dirinya sebagai individu yang tidak hanya hidup sendiri tetapi hidup bersama dengan individu lain yang berasal dari latar belakang yang berbeda dari dirinya.  
Paradigma pendidikan multikultur sangatlah cocok untuk dikembangkan di Indonesia, karena pendidikan multikultur sangat relevan untuk diterapkan di negara yang multikultural seperti Indonesia. Hal inilah yang mendasari adanya pendidikan karakter yang bertujuan untuk mewujudkan nilai-nilai perilaku atau karakter belajar yang meliputi pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai, baik terhadap Tuhan Yang Mahaesa, diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi insan kamil. Insan kamil adalah insan sempurna sebagai manusia yang bermanfaat bagi diri sendiri, lingkungan masyarakat, bangsa, dan agamanya di tengah keragaman kehidupan. Karena input pendidikan yang beragam haruslah kita terima sebagai sesuatu yang wajar mengingat indonesia adalah bangsa yang plural. sebaliknya otuput pendidikan haruslah ideal dengan cara membentuk tujuan bersama.
Masyarakat dan kebudayaannya pada dasarnya  merupakan tayangan besar dari kehidupan bersama antara individu-individu manusia yang bersifat dinamis. Pada masyarakat yang kompleks memiliki banyak kebudayaan dengan standar perilaku yang berbeda dan kadangkala bertentangan, perkembangan kepribadian individu pada masyarakat ini sering dihadapkan pada model-model perilaku yang suatu saat diimbali sedang saat yang lain disetujui oleh beberapa kelompok namun dicela atau dikutuk oleh kelompok lainnya, dengan demikian seorang anak yang sedang berkembang akan belajar dari kondisi yang ada, sehingga perkembangan kepribadian anak dalam masyarakat majemuk menunjukkan bahwa pola asuh dalam keluarga lebih berperan karena pengalaman yang dominan akan membentuk kepribadian, satu hal yang perlu dipahami bahwa pengalaman seseorang tidak hanya sekedar bertambah dalam proses pembentukan kepribadian, namun terintegrasi dengan pengalaman sebelumnya, karena pada dasarnya kepribadian yang memberikan corak khas pada perilaku dan pola penyesuaian diri, tidak dibangun dengan menyusun suatu peristiwa atas peristiwa lain , karena arti dan pengaruh suatu pengalaman tergantung pada pengalaman-pengalaman yang mendahuluinya. Masalah yang biasanya dihadapi oleh masyarakat majemuk adalah  adanya persentuhan dan  saling hubungan antara kebudayaan suku bangsa dengan kebudayaan umum lokal, dan  dengan kebudayaan nasional

Bagaimana pembelajaran multukultural ini bisa menjadi pembelajaran yang efektif adalah tergantung bagaimana proses penyampaian dan pelaksanaan pembelajaran tersebut untuk dapat diterima dan dicerna serta dapat diaplikasikan oleh peserta didik secara nyata dalam kehidupan sehari-sehari. Metode pembelajaran yang efektif menjadi sangat berpengaruh dalam upaya mewujudkan tujuan ini. Misalnya dengan metode-metode tertentu seperti siswa bekerja secara kelompok atau belajara dengan suasana yang menyenangkan. Sehingga tujuan pembelajaran akan menunjukkan hasil atau output sumber daya manusia yang memiliki nilai-nilai karakter yang diharapkan. Pada dasarnya metode pembelajaran yang aktif adalah metode pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai centre atau peran utama dalam proses pembelajaran. Gurur hanya berperan sebagai fasilitator yang tidak boleh mendominasi proses pembelajaran karena seharusnya siswalah yang lebih banyak berperan sehingga mereka dapat menemukan informasi, dan menemukan pengetahuan itu sendiri.
Terkadang banyak sekali guru yang hanya menggunakan metode ceramah dalam proses pembelajaran sehingga menciptakan suasana yang monoton sehingga siswa justru merasa bosan dengan suasana belajarnya. Hal-hal seperti inilah yang menghambat upaya peningkatan keberhasilan proses pembelajaran dalam pendidikan multikultural. Walaupun dalam setiap pembelajaran tidak lepas dari metode ceramah tetapi metode ceramah ini tidak boleh mendominasi kegiatan pembelajaran itu sendiri. karena pendidikan multikultural adalah pembeajaran yang menyangkut kehidupan sosial masyarakat maka prakteknya akan berhubungan langsung dengan kehidupan sosial. Siswa akan diajarkan untuk berfikir secara luas dan terbuka akan kebudayaan-kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan dimana mereka berasal dan bagaimana untuk dapat menerima serta menghargainya.
Dalam pendidikan multikultural, siswa dipandang sebagai seseorang atau individu milik suatu kelompok, nasional, agama, ras, budaya dan etnik tertentu. Manusia sebagai makhluk individu artinya manusia sebagai makhluk hidup atau makhluk individu maksudnya tiap manusia berhak atas milik pribadinya sendiri dan bisa disesuaikan dengan lingkungan sekitar. Manusia individu adalah subyek yang mengalami kondisi manusia. Ini diikatkan dengan lingkungannya melalui indera mereka dan dengan masyarakat melalui kepribadian mereka, jenis kelamin mereka serta status sosial. Setiap individu yang memiliki agama, busaya dan etnik tertentu pastilah memiliki cara pancang, pola berfikir dan perilaku yang khas sesuai ciri tempatnya berasal karena telah dibentuk dengan kebudayaan atau kebiasaan tempat asalnya menjadi manusia atau individu yang memiliki pola yang sesuai daerahnya.
Dengan begitu akan terlihat jelas dalam sebuah kelas yang isinya adalah individu-individu yang mengelompok dalam satu kelompok tetapi memiliki latar belakang yang berbeda-beda. Sebagai contoh siswa yang berasal dari daerah pesisir pantai atau daerah pegunungan pastilah memiliki pola yang khas sesuai ciri geografis tempat asalnya yang berhubungan dengan pola tingkah lakunya. Misalnya volume suaranya dalam berbicara sedikit lebih kencang dibandingkan dengan siswa yang berasal dari pemukiman padat. Hal ini dikarenakan pola geografis sebuah daerah mempengaruhi pembawaan karakter pada siswa.
Dari hal-hal yang seperti inilah terlihat bahwa akan ada pola pemikiran, dan cara pandang yang sangat beragam dari masing-masing individu yang akan bertemu dalam proses pembelajaran. Begitupun dengan siswa sebagai individu milik agama. Dengan adanya perbedaan agama maka aka nada pula jalan berfikir masing-masing yang tidak serta merta dapat disatukan. Pada dasarnya semua ajaran agama adalah kebaikan dan larangan untuk melakukan kejahatan. Oleh karena itu agama apapun intinya adalah kebaikan. Mengenai perbedaan dalam agama, dalam masyarakat multikultural seperti bangsa Indonesia haruslah memiliki rasa toleransi dan saling menghargai untuk menjaga perstuan dan kesatuan serta keutuhan bangsa dan negara.
Dalam pendidikan multikultural akan diajarkan bagaimana seorang individu sebagai milik agama harusnya bersikap dan bersosialisasi untuk hidup bersama secara harmonis antara satu dengan yang lainnya. Banyak sekali kasus-kasus yang terjadi di Indonesia berkaitan dengan perbedaan agama. Contohnya perang antar desa yang berbeda keyakinan. Hal seperti inilah yang akan merusak kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia. Perbedaan agama tidak boleh dijadikan sebagai alasan untuk memecah belah bangsa ini. Kekerasan, pelecehan, sangat tidak dibenarkan apalagi mengatasnamakan agama dan agama dijadikan sebagai tameng belaka. Dalam pendidikan multikultural, hal-hal semacam ini akan diantisipasi dengan adanya pendidikan karakter yang akan membentuk karakter peserta didik menjadi yang seharusnya. Begitupun indovidu sebagai milik suatu kelompok, etnis dan budaya.
Dalam konteks membangun masyarakat multikultural, selain berperan meningkatkan mutu bangsa agar dapat duduk sama rendah, berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain, pendidikan juga berperan memberi perekat antara berbagai perbedaan di antara komunitas kultural atau kelompok masyarakat yang memiliki latar belakang budaya berbeda-beda agar lebih meningkat komitmennya dalam berbangsa dan bernegara. Jenis perekat yang dipakai ialah pembangunan karakter dan semangat kebangsaan .
Dalam hal ini, karakter kebangsaan merupakan pengembangan jati diri bangsa Indonesia yang (pernah) dikenal sebagai bangsa yang ramah, sopan, toleran, dan sebagainya. Sedangkan semangat kebangsaan adalah keinginan yang amat mendasar dari setiap komponen masyarakat untuk berbangsa. Karakter dan semangat kebangsaan seperti itu akan berkembang, baik secara natural maupun kultural, menuju tercapainya persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam konteks semangat kebangsaan, bangsa itu adalah satu dan tidak terpisah-pisahkan. Persatuan dan kesatuan merupakan konsekuensi logis pengembangan jati diri dan keinginan mendasar untuk berbangsa. Dalam konteks semangat kebangsaan, tiap komponen bangsa memiliki kedudukan, hak dan kewajiban sama. Etnis Melayu memiliki kedudukan yang sama dengan etnis Cina dan etnis-etnis lain; suku Aceh memiliki hak yang sama dengan suku Sunda dan suku-suku lain; demikian pula pemeluk agama Islam mempunyai kewajiban yang sama dengan pemeluk agama Katolik dan agama-agama lain dalam menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Semua komponen bangsa mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama untuk mengembangkan bangsa.
Pendidikan dan masyarakat multikultural itu memiliki hubungan yang bersifat timbal balik. artinya, kalau pada satu sisi pendidikan memiliki peran yang signifikan untuk membangun masyarakat multikultural maka di sisi yang lain masyarakat multikultural dengan segala karakternya itu memiliki potensi yang signifikan untuk memberhasilkan fungsi dan peranan pendidikan pada umumnya.


Hal itu berarti bahwa penguatan di satu sisi secara langsung maupun tidak langsung akan memberikan penguatan pada sisi yang lain. Penguatan terhadap pendidikan, misalnya dengan memperbaiki sistem, meningkatkan efisiensi, mengefektifkan kegiatan belajar, dsb, akan menambah keberha-silan dalam membangun masyarakat multikultural. Di sisi lain penguatan terhadap masyarakat multikultural, yaitu dengan mengelola potensi yang dimilikinya secara benar akan menambah keberhasilan fungsi dan peranan pendidikan pada umumnya. Implikasinya, dilakukannya penguatan pada kedua sisi secara simultan akan memberikan hasil yang optimal, baik dari sisi peranan pendidikan maupun sisi pembangunan  masyarakat multikultural.
Dalam epistemologi pendidikan multikultural, pada dasarnya hal ini adalah mengenai bagaimana cara pandang pendidikan multikultural terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri. ilmu pengetahuan adalah sarana atau definisi tentang alam semesta yang diterjemahkan kedalam bahasa yang bisa dimengerti oleh manusia sebagai usaha untuk mengetahui dan mengingat tentang sesuatu. Dengan kata lain, definisi kata ilmu yaitu sesuatu yang didapat dari kegiatan membaca dan memahami benda-benda maupun peristiwa.
Pendidikan multikultural secara inhern sudah ada sejak bangsa Indonesia ini ada. Falsafah bangsa Indonesia adalah bhineka tunggal ika, suka gotong royong, membantu, dan menghargai antar satu dengan yang lainnya.betapa dapat dilihat dalam potret kronologis bangsa ini yang sarat dengan masuknya berbagai suku bangsa asing dan terus berakulturasi dengan masyarakat pribumi. Proses adaptasi dan akulturasi yang berlangsung diantara suku-suku tersebut dengan etnis yang datang kemudian itu, ternyata sebagianbesar dilakukan dengan damai tanpa adanya penindasan yang berlebihan. Prosesinilah yang dikenal dengan pendidikan multikultural. Hanya saja model pendidikan multikultural ini semakin tereduksi dengan adanya kolonialisasi di bibidang ploitik, ekonomi, dan mulai merambah ke bidang budaya dan peradaban bangsa.

Pendidikan multikultural memberikan secerah harapan dalam mengatasi berbagai gejolak masyarakat yang terjadi akhir-akhir ini. Pendidikan multikultural, adalah pendidikan yang senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai, keyakinan, heterogenitas, pluralitas dan keragaman, apapun aspeknya dalam masyarakat. Dengan demikian, pendidikan multikultural yang tidak menjadikan semua manusia sebagai manusia yang bermodel sama, berkepribadian sama, berintelektual sama, atau bahkan berkepercayaan yang sama pula.
Pendidikan multikultural menentang pendidikan yang beroreintasi bisnis. Pada saat ini, lembaga pendidikan baik sekolah atau perguruan tinggi berlomba-lomba menjadikan lembaga pendidikannya sebagai sebuah institusi yang mampu menghasilkan income yang besar. Dengan alasannya, untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada peserta didik. Padahal semua orang tahu, bahwa pendidikan yang sebenarnya bagi bangsa Indonesia bukanlah pendidikan keterampilan belaka, melainkan pendidikan yang harus mengakomodir semua jenis kecerdasan.yang sering dikenal dengan nama kecerdasan ganda.

Pendidikan multikultural sebagai resistensi fanatisme yang mengarah pada berbagai jenis kekerasan. Kekersan muncul ketika saluran kedamaian sudah tidak ada lagi. Kekerasan tersebut sebagai akibat dari akumulasinya berbagai persoalan masyarakat yang tidak diselesaikan secara tuntas dan saling menerima. Ketuntasan penyelesaian berbagai masalah masyarakat adalah prasyarat bagi munculnya kedamaian. Fanatisme yang sempit juga bisa meyebabkan munculnya kekerasan. Dan fanatisme ini juga berdimensi etnis, bahasa, suku, agama, atau bahkan sistem pemikiran baik di bidang pendidikan, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya. Dengan demikian Pendidikan multikultural merupakan respon terhadap perkembangan keragaman populasi sekolah, sebagaimana tuntutan persamaan hak bagi setiap kelompok. Dalam dimensi lain pendidikan multikultural merupakan pengembangan kurikulum dan aktifitas pendidikan untuk memasuki berbagai pandangan, sejarah, prestasi dan perhatian terhadap orang-orang non eropa. (Ainurrafiq: 2003:24).

Sebelum membahas tentang epistemology pendidikan multikultural, terlebih dahulu akan kita bahas mengenai pengertian epistemology terlebih dahulu. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme, yang berarti pengetahuan (knowledge) dan logos yang berarti ilmu. Jadi menurut arti katanya, epistemologi ialah ilmu yang membahas masalah-masalah pengetahuanEpistemologi adalah teori atau ilmu pengetahuan tentang metode dan dasar-dasar pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan batas-batas pengetahuan dan validitas atau sah berlakunya pengetahuan itu. (Darwis. A. Soelaiman, 2007, hal. 61).Epistemologi atau Filsafat pengetahuan merupakan salah satu cabang filsafat yang mempersoalkan masalah hakikat pengetahuan. Apabila kita berbicara mengenai filsafat pengetahuan, yang dimaksud dalam hal ini adalah ilmu pengetahuan kefilsafatan yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang hakikat pengetahuan.
Epistemologi adalah bagian dari filsafat yang membicarakan tentang terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas, sifat, metode, dan keshahihan pengetahuan. Jadi objek material dari epistemology adalah pengetahuan dan objek formalnya adalah hakikat pengetahuan itu. Epistemologi atau Teori Pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis. Pengetahuan didapati oleh manusia dengan berbagai tahap. Tidak serta merta ada begiru saja.
Setelah epistemology, maka selanjutnya adalah pengetahuan atau ilmu pengetahuan. lmu pengetahuan adalah seluruh usaha sadar untuk menyelidiki, menemukan, dan meningkatkan pemahaman manusia dari berbagai segi kenyataan dalam alam manusia. Segi-segi ini dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti. Ilmu memberikan kepastian dengan membatasi lingkup pandangannya, dan kepastian ilmu-ilmu diperoleh dari keterbatasannya.
Ilmu bukan sekadar pengetahuan (knowledge), tetapi merangkum sekumpulan pengetahuan berdasarkan teori-teori yang disepakati dan dapat secara sistematik diuji dengan seperangkat metode yang diakui dalam bidang ilmu tertentu. Dipandang dari sudut filsafat, ilmu terbentuk karena manusia berusaha berfikir lebih jauh mengenai pengetahuan yang dimilikinya. Ilmu pengetahuan adalah produk dari epistemologi. Sifat ilmiah sebagai persyaratan ilmu banyak terpengaruh paradigma ilmu-ilmu alam yang telah ada lebih dahulu. Objektif. Ilmu harus memiliki objek kajian yang terdiri dari satu golongan masalah yang sama sifat hakikatnya, tampak dari luar maupun bentuknya dari dalam. Objeknya dapat bersifat ada, atau mungkin ada karena masih harus diuji keberadaannya. Dalam mengkaji objek, yang dicari adalah kebenaran, yakni persesuaian antara tahu dengan objek, sehingga disebut kebenaran objektif; bukan subjektif berdasarkan subjek peneliti atau subjek penunjang penelitian.
Metodis adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk meminimalisasi kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam mencari kebenaran. Konsekuensinya, harus ada cara tertentu untuk menjamin kepastian kebenaran. Metodis berasal dari bahasa Yunani “Metodos” yang berarti: cara, jalan. Secara umum metodis berarti metode tertentu yang digunakan dan umumnya merujuk pada metode ilmiah. Sistematis. Dalam perjalanannya mencoba mengetahui dan menjelaskan suatu objek, ilmu harus terurai dan terumuskan dalam hubungan yang teratur dan logis sehingga membentuk suatu sistem yang berarti secara utuh, menyeluruh, terpadu , dan mampu menjelaskan rangkaian sebab akibat menyangkut objeknya. Pengetahuan yang tersusun secara sistematis dalam rangkaian sebab akibat merupakan syarat ilmu yang ketiga.
Universal. Kebenaran yang hendak dicapai adalah kebenaran universal yang bersifat umum (tidak bersifat tertentu). Contoh: semua segitiga bersudut 180º. Karenanya universal merupakan syarat ilmu yang keempat. Belakangan ilmu-ilmu sosial menyadari kadar ke-umum-an (universal) yang dikandungnya berbeda dengan ilmu-ilmu alam mengingat objeknya adalah tindakan manusia. Karena itu untuk mencapai tingkat universalitas dalam ilmu-ilmu sosial, harus tersedia konteks dan tertentu pula.
Pengetahuan manusia dimulai dari rasa ingin tahu manusia itu sendiri. Rasa ingin tahu ini sudah dimiliki manusia sejak kecil. Banyak cara untuk memuaskan rasa ingin tahu manusia. Anak yang belum dapat bertanya senang mencoba-coba hal yang tidak diketahuinya. Sebagai contoh, anak kecil senang memasukan barang-barang ke dalam mulutnya hanya untuk memuaskan rasa ingin tahunya. Di tahap selanjutnya anak-anak akan banyak bertanya contohnya “itu apa ?”, “ini bagaimana?” itu hal yang lumrah dilewati oleh manusia untuk pengembangan diri. Rasa ingin tahu tersebut akan terpuaskan bila diperoleh pengetahuan yang dia pertanyakan dengan hal yang benar. Pengetahuan dapat diperoleh kebenarannya dari dua pendekatan, yaitu pendekatan non-ilmiah dan ilmiah. Pada pendekatan non ilmiah ada beberapa pendekatan yakni akal sehat, intuisi, prasangka, penemuan dan coba-coba dan pikiran kritis.
Akal sehat adalah serangkaian konsep dan bagian konseptual yang memuaskan untuk penggunaan praktis bagi kemanusiaan. Konsep merupakan kata yang dinyatakan abstrak dan dapat digeneralisasikan kepada hal-hal yang khusus. Akal sehat ini dapat menunjukan hal yang benar, walaupun disisi lainnya dapat pula menyesatkan. Kerlinger (1973, h. 3) . kedua adalah intuisi yakni penilaian terhadap suatu pengetahuan yang cukup cepat dan berjalan dengan sendirinya. Biasanya didapat dengan cepat tanpa melalui proses yang panjang tanpa disadari. Dalam pendekatan ini tidak terdapat hal yang sistemik.
Ketiga adalah prasangka, yakni Pengetahuan yang dicapai secara akal sehat biasanya diikuti dengan kepentingan orang yang melakukannya kemudian membuat orang mengumumkan hal yang khusus menjadi terlalu luas dan menyebabkan akal sehat ini berubah menjadi sebuah prasangka. Dan yang terakhir adalah penemuan coba-coba, yaitu Pengetahuan yang ditemukan dengan pendekatan ini tidak terkontrol dan tidak pasti. Diawali dengan usaha coba-coba atau dapat dikatakan trial and error. Dilakukan dengan tidak kesengajaan yang menghasilkan sebuah pengetahuan dan setiap cara pemecahan masalahnya tidak selalu sama. Sebagai contoh seorang anak yang mencoba meraba-raba dinding kemudian tidak sengaja menekan saklar lampu dan lampu itu menyala kemudian anak tersebut terperangah akan hal yang ditemukannya. Dan anak tersebut pun mengulangi hal yang tadi ia lakukan hingga ia mendapatkan jawaban yang pasti akan hal tersebut.
Epistemologi memandang pendidikan sebagai ide, gagasan, dan pemikiran yang berdasarkan kaidah tertentu secara metodologis dan sistematis. Semakin ketat satu sistem bahasan pendidikan dalam mematuhi persyaratan ilmiah maka ia menduduki peringkat tertinggi dalam sistem ilmu pendidikan. Bahasan seperti itu dapat disebut sebagai ilmu pendidikan. Apabila semakin toleran dan bebas satu sistem bahasan pendidikan dalam mematuhi persyaratan ilmiah maka ia menduduki peringkat terendah, bahasan seperti ini berhak disebut pengetahuan pendidikan.
Pandangan ilmu pengetahuan mengenai pengertian pendidikan yaitu bahwa pengertian pendidikan bersifat terbatas. Pendidikan sebagai suatu sistem ilmu pengetahuan membentang luas ide, gagasan, dan pemikiran manusia. Akan tetapi, apabila kita kumpulkan dan ditarik sebuah pengertian umum maka kita dapat menyimpulkan bahwa pada prinsipnya pendidikan adalah segala sesuatu yang mengalami proses perubahan ke arah yang lebih baik dari proses sebelumnya.
Pengertian pendidikan nasional menurut Sunarya (1969) adalah suatu sistem pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh falsafah hidup dan tujuannya bersifat mengabdi kepada kepentingan dan cita-cita nasional bangsa tersebut. Sedangkam menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, pengertian pendidikan nasional adalah suatu usaha untuk membimbing warga Indonesia menjadi manusia yang berjiwa pancasila, yang mempunyai kepribadian yang berdasarkan akan ketuhananan, berkesadaran masyarakat, dan mampu membudayakan lingkungan sekitar dengan sebaik mungkin.
Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dikemukakan bahwa Pendidikan Nasional adalah usaha sadar untuk mempersiapkan peserta didik melalui bimbingan, pengajaran, dan pelatihan bagi peranannya di masa yang akan datang.
Pendidikan nasional mempunyai tujuan yang jelas yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya (manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa), berbudi pekerti luhur, mempunyai pengetahuan dan ketrampilan, mempunyai kepribadian yang mantap dan mandiri serta bertanggung jawab pada masyarakat dan negara. Berdasarkan tujuan pendidikan nasional dilaksanakan proses pendidikan nasional, yaitu setiap lima tahun sekali biasanya ditetapkan tujuan pendidikan nasional itu dalam ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan dijelaskan dalam GBHN.

Untuk beberapa saat lamanya, multikulturalisme adalah istilah yang samar. Di satu sisi, ada keinginan yang jelas untuk mengatakan bahwa kebudayaan-kebudayaan lain adalah baik atau setidaknya mengandung kebaikan sehingga kita dapat belajar dari mereka. Terkadang kita menyadari, bahwa di masa lalu kita kerap memberikan penilaian yang salah terhadap kebudayaan-kebudayaan lain, suatu penilaian yang didasarkan pada informasi yang tidak akurat dan pemahaman yang kurang memadai. Di sisi lain, ada pula keinginan untuk mengisolasi kebudayaan-kebudayaan lain tersebut dalam penilaian negatif kita. Penilaian negatif ini muncul dari pengalaman masa lampau dan juga sikap protektif terhadap pengaruh kebudayaan-kebudayaan lain. Multikulturalisme adalah kearifan untuk melihat keanekaragaman budaya sebagai realitas fundamental dalam kehidupan bermasyarakat. 

Kearifan itu akan muncul, jika seseorang membuka diri untuk menjalani kehidupan bersama dengan melihat keadaan realitas yang plural sebagai satu kesatuan dalam kehidupan bermasyarakat. Akar kata multikulturalisme adalah kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya) dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik. Multikulturalisme adalah sebuah filosofi terkadang ditafsirkan sebagai ideologi yang menghendaki adanya persatuan dari berbagai kelompok kebudayaan dengan hak dan status sosial politik yang sama dalam masyarakat modern.

Istilah multikultural juga sering digunakan untuk menggambarkan kesatuan berbagai etnis masyarakat yang berbeda dalam suatu negara. Ada banyak ilmuwan dunia yang memberikan definisi kultur dan sangat beragam, walaupun demikian ada beberapa titik kesamaan yang mempertemukan keragaman definisi yang ada tersebut. Salah satunya dapat dilakukan lewat pengidentifikasian karakteristiknya. Conrad P. Kottak menjelaskan bahwa kultur memiliki beberapa karakter khusus, antara lain Kultur adalah sesuatu yang general dan spesifik sekaligus, Kultur adalah sesuatu yang dipelajari, Kultur dapat membentuk dan melengkapi sesuatu yang alami, Kultur adalah sesuatu yang dilakukan secara bersama-sama yang menjadi atribut bagi individu sebagai anggota dari kelompok masyarakat.

Dari karakteristik ini, dapat dikembangkan pemahaman terhadap multikulturalisme, yaitu sebuah pemahaman tentang kultur yang beragam. Dalam keragaman kultur ini meniscayakan pemahaman, saling pengertian, toleransi dan sejenisnya, agar tercipta suatu kehidupan yang damai dan sejahtera serta terhindar dari konflik berkepanjangan. Multikulturalisme itu adalah sebuah ideologi dan sebuah alat atau wahana untuk meningkatkan derajat manusia dan kemanusiaannya, maka konsep kebudayaan harus dilihat dalam perspektif fungsinya bagi kehidupan manusia. Untuk memahami multikulturalisme, dibutuhkan alternatif pemaknaan tentang ideologi. Pandangan dua tokoh berikul ini yaitu Antonio Gramsci dan Michel Bahktin tampaknya penting untuk dilihat. Menurut mereka, ideologi lebih merupakan masalah “partisipasi” daripada dominasi atau manipulasi; dalam arti luas lebih merupakan persoalan “pandangan dunia” daripada propaganda partisan.  Intinya, multikulturalisme meyakini bahwa ketika orang-orang hidup saling berdekatan, ada keharusan interaksi antara kebudayaan-kebudayaan. Tak seorang pun dapat hidup terisolasi sepenuhnya. Yang kita butuhkan untuk saling mengenal keragaman budaya nusantara dan mancanegara adalah pendidikan.

Dengan demikian multikulturalisme adalah sebuah konsep di mana sebuah komunitas dalam konteks kebangsaan dapat mengetahui keberagaman, perbedaan dan kemajemukan budaya, baik ras, suku, etnis maupun agama. Ia merupakan konsep yang memberikan pemahaman bahwa sebuah bangsa yang plural dan majemuk adalah bangsa yang dipenuhi dengan budaya-budaya yang beragam (multikultural). Dan bangsa yang multikultural adalah bangsa yang kelompok-kelompok etnik atau budaya (ethnic and cultural groups) yang ada dapat hidup berdampingan secara damai dalam prinsip existensi yang ditandai oleh kesediaan masing-masing kelompok untuk menghormati dan menghargai budaya lain.

Strategi pendidikan multikultural, sejak lama telah berkembang di Eropa, Amerika dan di negara-negara maju lainnya. Gagasan ini, dengan demikian bukan merupakan hal baru. Strategi ini adalah pengembangan dari studi interkultural dan multikulturalisme. Dalam perkembangannya, studi ini menjadi sebuah studi khusus tentang pendidikan multikultural yang pada awalnya bertujuan agar populasi mayoritas dapat bersikap toleran terhadap para imigran baru. Studi ini juga memiliki tujuan politis sebagai alat kontrol sosial penguasa terhadap warganya, agar kondisi negara aman dan stabil. Namun dalam perkembangannya, tujuan politisi ini menipis dan bahkan hilang sama sekali, karena “ruh” dan “ nafas” dari pendidikan multikultural ini adalah demokrasi, humanisme, dan pluralisme yang anti terhadap adanya kontrol dan tekanan yang membatasi dan menghilangkan kebebasan manusia. Selanjutnya, pendidikan multikultural ini justru menjadi motor penggerak dalam menegakkan demokrasi, humanisme dan pluralisme yang dilakukan melalui sekolah, kampus dan institusi-institusi pendidikan lainnya. Sejarah kelam yang panjang yang dialami negara-negara Eropa dan Amerika seperti kolonialisme, perang sipil di Amerika dan Perang Dunia I dan II, sebenarnya juga menjadi landasan utama kenapa pendidikan multikultural ini diaplikasikan di kedua benua besar tersebut. Sebagaimana yang tertulis dalam sejarah, pada tahun 1415 hingga awal tahun 1900-an, negara-negara utama di Eropa, seperti Spanyol, Inggris, Portugis, Prancis, dan Belanda, telah melakukan ekspansi dan penjajahan terhadap negara-negara lain di Asia, Amerika, dan Afrika.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka keberadaan pendidikan multikultural sangat diperlukan. Pendidikan multikultural adalah strategi pendidikan yang diaplikasikan pada seluruh jenis mata pelajaran dengan cara menggunakan perbedaan-perbedaan kultural yang ada pada para siswa seperti perbedaan etnis, agama, bahasa, gender, kelas sosial, ras, kemampuan, dan umur agar proses belajar menjadi efektif dan mudah. Pendidikan multikultural sekaligus juga untuk melatih dan membangun karakter siswa agar mampu bersikap demokratis, humanis, dan pluralis dalam lingkungan mereka. Tujuan awal pendidikan multikultural yaitu membangun wacana pendidikan multikultural dikalangan guru, dosen, ahli pendidikan, pengambil kebijakan dalam dunia pendidikan dan mahasiswa jurusan ilmu pendidikan maupun mahasiswa umum. Harapannya adalah apabila mereka mempunyai wacana pendidikan multikultural yang baik maka kelak mereka tidak hanya mampu untuk membangun kecakapan dan keahlian siswa terhadap mata pelajaran yang diajarkannya. Pendidikan multikultural mengusung pendekatan dialogis untuk menanamkan kesadaran hidup bersama dalam keragaman dan perbedaan.

Pendidikan ini dibangun atas spirit relasi kesetaraan dan kesederajatan, saling percaya, saling memahami dan menghargai persamaan, perbedaan dan keunikan dan interdependensi. Ini merupakan inovasi dan reformasi yang integral dan komprehensif dalam muatan pendidikan agama, agama yang bebas prasangka, rasisme, bias an stereotip. Pendidikan multikultural memberi pengakuan akan pluralitas, sarana belajar untuk perjumpaan lintas batas dan mentransformasi indoktrinasi menuju dialog. Kini inovasi pendidikan multikultural memperoleh momentumnya. Secara umum, pendidikan multikultural menegaskan mengenai perlunya pembelajaran tentang berbagai hal untuk masyarakat yang beragam. Para pemikir pendidikan multikultural memandang penting untuk memperhatikan faktor keragaman kelompok kultural dalam masyarakat yang perlu dipelajari, ada pula yang memfokuskan pada tindakan sekolah, dan ada pula yang fokus pada pandangan bahwa adanya antara teori dan praktik dalam pendidikan multikultural.

Mengimplementasikan pendidikan multikultural di sekolah mungkin saja akan mengalami hambatan atau kendala dalam pelaksanaannya, namun pada akhirnya kenyataan bahwasanya Indonesia adalah negara multikultural yang mau tidak mau harus disatukan dengan sejuta perbedaan melalui pendidikan multikultural mungkin saja akan terhindar dari perpecahan. Karena tujuan pendidikan ini sejatinya bukan saja untuk tujuan intelegensi semata namun juga menyangkut pembentukan karakter bangsa sesuai dengan selogan bangsa Indonesia yakni Bhineka Tunggal Ika.









































DAFTAR PUSTAKA

Musa Asy’arie, (2004). Pendidikan Multikultural dan Konflik Bangsa, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0409/03/opini/1246546



Tidak ada komentar:

Posting Komentar